Pelajaran Dari Musibah Sitok Srengenge dan RW

Beberapa waktu yang lalu publik sempat dihebohkan oleh kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seniman Salihara bernama Sitok Srengenge pada mahasiswi Universitas Indonesia yang berinisial RW. RW hamil lalu melaporkan kelakuan Sitok pada polisi. Dan setelah itu juga muncul laporan dari perempuan lain yang mengaku telah dilecehkan secara seksual oleh Sitok.

Khusus dalam kasus Sitok dan RW, Sitok nampaknya dibela mati-matian oleh beberapa media dengan berbagai pencitraan, sedang banyak pihak juga yang mendukung perjuangan RW. Saya prihatin pada mereka berdua. Dan dalam hal ini, saya tidak sedang mendukung salah satu di antara mereka. Kasus mereka ‘hanya’ sebuah yang nampak di permukaan. Kasus serupa, yakni pelecehan seksual, terjadi begitu banyak di sekitar kita. Silahkan saja googling atau menonton berita kriminal di siang hari atau membaca warta kota, setidaknya tiap minggu akan muncul kasus yang berbeda.

Melihat kasus RW dan Sitok, saya tidak ingin bertanya ini salah siapa. Pertanyaan itu sama dengan menanyakan siapa yang lebih dahulu antara telur dan ayam. Maaf seribu maaf, saya katakan bahwa mereka berdua sama-sama salah! Laakhaulaawalaaquataillabillaah!

Kenapa saya setega itu berkata demikian? Tidakkah itu berarti saya menjadi antitesis perjuangan RW? Meskipun jelas saya sama sekali tidak membenarkan perbuatan Sitok. Bukan. Sama sekali tidak demikian. Saya justru ingin memetik hikmah yang berharga dari musibah yang menimpa mereka. Agar menjadi pelajaran bagi saya dan juga perempuan-perempuan lain untuk tidak mengulangi musibah yang sama. Sebab setelah nasi terlanjur jadi bubur, ‘PR-nya’ tidak hanya bagaimana membuat bubur bisa bermanfaat. Atau pada upaya menyelamatkan agar bubur tidak gosong. Tapi tugas yang lebih penting adalah mencegah nasi lain menjadi bubur yang tidak dikehendaki.

Dari tulisan yang sudah saya baca terkait musibah mereka, sebagian besar menyatakan bahwa Sitok menjadi salah satu dosen pembimbing bagi RW untuk sebuah tugas. Sitok menggunakan kesempatan itu untuk melecehkan RW secara seksual. RW dipaksa dan diintimidasi jika tidak menurut akan dipersulit urusannya. Selain itu ada juga berita yang menulis bahwa Sitok memaksa RW ke kamar. Dalam ketakutan, RW menurut. Nah, di sinilah masalahnya. Tidak ada keberanian RW dari awal untuk menolak Sitok.

Barangkali saya terlalu ekstrim. Tapi lihatlah, apa jadinya jika kita bertekuk lutut pada ‘ketakutan’. Betapa sikap tegas dan keberanian itu menjadi kunci keselamatan. Ketakutan hanya pada Allah dan siksa-Nya. Tidak ada yang bisa berbuat apa pun untuk menyengsarakan kita kecuali itu adalah kehendak-Nya. Dan tak akan kita sengsara kecuali kita hobi menyengsarakan orang lain. Dan satu hal yang harus digarisbawahi dan ditulis dengan huruf tebal, jangan berharap ketegasan dan keberanian itu adalah hal instan! Dia adalah sikap spontan yang muncul dari akumulasi keseharian kita.

Terdengar sangat maklum barang kali saat meletakkan posisi RW dibawah ketiak ketakutan. Justru di situlah kesalahan kita, meminta pemakluman. Padahal seharusnya kita menemukan solusi. Pada saat di posisi RW, di bawah ancaman dan tekanan apa pun, jika kita punya mental kuat kita bisa tegas dan berani melawan. Sebab yang kita takuti hanya Allah dan di saat yang sama kita juga meyakini Pertolongan-Nya. Misal diancam akan dipersulit hidup ke depan, yakinlah bahwa manusia yang mengancam itu tak lebih dari manusia seperti kita. Kalau pun dia begitu berkuasa, kekuasaannya tak ada seper-bilangan Avogadro dari kekuasaan Allah. Apakah kau ragu pada kekuasaan dan pertolongan Allah? Atau lebih tragis lagi misal akan dibunuh, seorang kesatria jelas pilih mati terhormat dari pada menyerahkan kehormatan.

Akan lain ceritanya kalau misal kejadiannya begini : Sitok mengetuk pintu lalu RW membukanya. Begitu pintu terbuka, Sitok langsung memukul tengkuk RW sehingga RW langsung pingsan. Lalu Sitok membawanya ke kamar dst. Atau lagi begini : RW sedang asyik menatap langit dari jendela kamar kostnya. Tanpa diketahui, Sitok merayap di tembok samping kost sambil menggenggam sapu tangan yang telah dibasahi dengan obat bius. Dan tanpa permisi, mendadak Sitok langsung mengarahkan sapu tangan itu ke mulut RW. Pingsanlah RW lalu Sitok masuk kamar lewat jendela dst. Lain sekali bukan ‘keadaan tanpa kesiapan’ dengan ‘keadaan sadar di bawah tekanan’?

Maka, betapa ironinya ketika kita harus tahu ada siswa SMA yang ‘rela’ menukar kehormatan tertingginya ‘hanya’ demi bisa naik kelas. Pendidikan macam apakah itu?

Itulah. Sekali lagi, ketegasan dan keberanian seperti itu bukan hal instan. Dia adalah hasil dari proses yang tidak singkat. Dia muncul sebagai sikap spontan akibat dari resultan kebiasaan. Dia merupakan subset perwujudan sebuah keimanan. Ya Allah, ampunilah saya. Dan hanya kepada-Mu lah saya mohon pertolongan dan perlindungan. Karena Engkau adalah sebaik-baik Penolong dan Pelindung.

Ya Allah, aku berlindung dengan kalimatullah yang sempurna, dari kejahatan (makhluk) yang Dia ciptakan.

Judul tulisan ini terlalu panjang menurut saya. Tadinya mau saya beri judul : Tidak Instan. Tapi tidak jadi. *info sangat tidak penting! 😯 😮

–**–

Cheers ^___^
Dyah Sujiati

About Dyah Sujiati

Tentang saya?! Seperti apa ya? Entahlah. Kalau saya yang nulis, pasti cuma yang baik-baik saja. Dan itu sulit dipercaya. XD XD XD Tapi harus percaya kalau saya seorang blogger yang tidak main sosmed. Twitter off per 4/4/2019, tidak punya Facebook, Instagram, Path, dll.
This entry was posted in Opini and tagged , , . Bookmark the permalink.

9 Responses to Pelajaran Dari Musibah Sitok Srengenge dan RW

  1. felis catus says:

    Setuju, Dyah, berani bukan hal yang instan. Bagaimana bisa berani kalau kebanyakan anak perempuan dididik untuk selalu menurut dan tidak pernah mempertanyakan apapun perintah orang tua dan guru (di kasus RW, SS itu gururnya)? Menurut ditaruh di prioritas lebih atas daripada berpikir kritis. Itu dia jadinya. 😦

  2. lazione budy says:

    yg hebat itu istrinya, udah tahu Sitok selingkuh tapi tetap membelanya.
    hebat!

  3. jampang says:

    meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya…. adalah kezhaliman

    *nyambung nggak?*

  4. Rini says:

    Kalo kata Aa Gym, mari memurnikan tauhid kita, hanya Alloh yang pantas kita takuti, kalo nilai-nilai tauhid itu benar-benar kita laksanakan. Maka, ketakutan2 akan hal lain tidak akan terjadi. Yang akan menjadi tolak ukur kita dalam semua tindakan, kalo dilandasi ketauhidan yang benar Insya Alloh benar.

  5. nats says:

    yup betul..melawan rasa takut adalah hasil dari sebuah proses… “memulai” suatu proses apapun itu adalah satu keberanian lain melawan rasa “takut” *mbulet.com

  6. Untuk kasus Sitok terhadap RW dan wanita-wanita lainnya, semoga hukum di negeri ini berlaku dengan seadil-adilnya. Kalo hukum Allah sudah pasti jelas keadilan-Nya.
    Dan saya sepakat sekali dg pendapatnya mbak Dyah ini:

    Sekali lagi, ketegasan dan keberanian seperti itu bukan hal instan. Dia adalah hasil dari proses yang tidak singkat. Dia muncul sebagai sikap spontan akibat dari resultan kebiasaan. Dia merupakan subset perwujudan sebuah keimanan.

  7. Yup.. Harus berani berkata tidak untuk hal yang tidak-tidak. Perempuan harus bernai melakukan perlawanan terhadap dominasi kaum Adam.

  8. pitaloka89 says:

    Makanya banyak juga yang membela sitok karena dianggap RW yg salah, terlebih lagi baru mengaku setelah hamil.
    Ya Sitok tetep salah juga karena “iseng” sama wanita yg bukan istrinya…

  9. An baru tau beritanya di sini, mbk. Innalillah.. hal ini menjadi pelajaran bagi kaum wanita untuk berhati-hati.

Leave a reply to felis catus Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.