Terpaksa Jadi Guru -part 6-

Postingan ini adalah kelanjutan dari Terpaksa Jadi Guru -5-  yang sudah saya posting jauh-jauh hari 🙂

Sepenggal kisah sederhana seorang guru yang tak terlalu lama menjadi guru.

— Tugas di Lapangan

Hari itu pelajaranku memasuki materi persamaan kuadrat. Kujelaskan pada mereka dan kuibaratkan grafik fungsi kuadarat itu dengan ekspresi tersenyum dan cemberut. Lalu mereka kuberi semacam jembatan keledai dengan ekspresi tersebut untuk memudahkan mereka memahami konsep materi ini.

Selesai menjelaskan sub-materi dan beberapa contoh, kusuruh mereka latihan. Karena waktu telah usai, kuubah latihan tadi menjadi tugas. Itu adalah salah satu trik agar anak-anak belajar. Dengan tugas itu mereka bisa mendapat nilai dariku, itu salah satu motivasinya. Dalam hal tugas ini merupakan saat di mana kuperbolehkan mencontek dengan menyalin jawaban temannya. Setidaknya dengan begitu dia tahu huruf-huruf dalam bahasa matematika.

Esok hari aku mencocokkan tugas itu. Jam terakhir aku masuk di kelas X-3. Saat aku baru masuk, seseorang dengan sengaja berkomentar menyepelekanku, “Tidak mengerjakan… Tidak mengerjakan…” Aku tetap dingin cuek mendengarnya.

“Tugasnya sudah dikerjakan?” tanyaku baik-baik seolah aku tak mendengar komentar barusan.

“Beluuuummm.” Jawab mereka kompak. Mereka nampak sangat bangga karena merasa jumlahnya banyak. Mereka pikir aku akan goyah.

“Yang belum mengerjakan silahkan ke depan.” Kataku dengan tenang.

Semua berdiri hanya menyisakan dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Meraka tambah kegirangan.

“Ambil LKS dan kerjakan di bawah.” Peerintahku sambil menunjuk lantai.

Mereka syok dan pasrah menerimanya. Mungkin ada sedikit penyesalan dalam hati mereka, aku tak tahu.

“Kalau kalian mengulangi kesalahan yang sama, kalian tidak lagi mengerjakan seperti ini. Tapi di sana. Di tengah lapangan.” Kataku datar dan tegas.

— Ulangan

Setiap aku selesai menyampaikan satu materi, aku mengajak mereka ulangan. Ketika ulangan, aku mengawasi mereka dengan ketat. Tak satu pun yang boleh melakukan pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ketahuan olehku. Kuberi sangsi bagi setiap yang melanggar. Bisa berupa potongan nilai, nilai dibagi berdua, bahkan kunyatakan nol. Dan bagi yang sportif kuberi bonus, berapapun nilai yang diperoleh. Setidaknya dengan begitu, mereka belajar percaya diri, jujur, dan sportif.

Pada saat ulangan yang pertama, banyak sekali yang melakukan pelanggaran. Ulangan kedua berkurang 90%. Dan pada ulangan ketiga, 98% mengerjakan sendiri.

Malam itu aku mengoreksi hasil ulangan anak-anak. Itu adalah ulangan ketiga. Aku sedih karena nilai mereka sangat-sangat kecil. Tapi aku juga senang karena karena itu mencerminkan penguasaan materi mereka. Itu sudah lumayan. Setidaknya mereka mau percaya pada diri mereka sendiri, pada kemampuannya. Dengan begitu, seandainya ilmu matematika tidak diserap oleh mereka, mereka bisa belajar jujur melalui matematika. Dan mereka juga belajar menghargai orang lain.

Malam itu aku mengoreksi sambil menangis. Aku menangisi murid-muridku. Aku terbayang wajah-wajah mereka. Jangan-jangan aku sudah mulai menyayangi mereka? Bukankah memang sudah seharusnya guru itu menyayangi murid-muridnya?

About Dyah Sujiati

Tentang saya?! Seperti apa ya? Entahlah. Kalau saya yang nulis, pasti cuma yang baik-baik saja. Dan itu sulit dipercaya. XD XD XD Tapi harus percaya kalau saya seorang blogger yang tidak main sosmed. Twitter off per 4/4/2019, tidak punya Facebook, Instagram, Path, dll.
This entry was posted in Hikmah and tagged , . Bookmark the permalink.

18 Responses to Terpaksa Jadi Guru -part 6-

  1. lambangsarib says:

    akhirnya………………

Thanks For Read :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.